Seruan Anti Feminist Feminist Club (AFFC) untuk International Women’s Day 2023

Dari tahun ke tahun, dari satu aksi ke aksi lain, di jalan beraspal kita menemui tembok kokoh yang sama yang hendak kita hancurkan: otoritarianisme, kapitalisme dan patriarki. Sejauh mana kekuatan kita tersisa di tengah-tengah upah murah, kelaparan, kerusakan lingkungan, dan rezim yang semakin termiliterisasi? Ke mana arah perjuangan kita? Apakah kita lagi-lagi mau memasrahkan nasib kita ke tangan para perwakilan—partai politik—atau bersediakah kita mulai membangun kekuatan dengan tangan kita sendiri?
Pada International Women’s Day 2023 ini, kami, kolektif AFFC, tanpa lelah menyerukan bentuk aksi yang lebih langsung dan nyata. Yang kami usulkan adalah program yang dapat kita jalankan bersama dalam prinsip otonomi dan solidaritas: penciptaan dan perluasan ruang aman bagi perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas dan minoritas gender; pembangunan jaringan dukungan konseling non-komersil; jaringan tenaga kesehatan reproduksi yang tidak menghakimi dan menghormati pilihan setiap orang; akses aborsi aman; pendidikan seksual dan keberagaman gender bagi remaja; kelompok-kelompok dukungan bagi penyintas kekerasan; penguatan serikat buruh lintas sektor dan pembangunan serikat pelajar.
Untuk menjalankan program ini dengan lebih efektif dan meluas, kami menyerukan pembentukan organisasi / serikat / persatuan perempuan dan minoritas gender akar rumput.
Kita harus menghidupkan kembali budaya berorganisasi dari bawah, yang demokratis, otonom, bersemangat, dan berdaya tempur.
Organisasi ini mungkin serupa organisasi-organisasi perempuan / serikat perempuan di awal kemerdekaan Indonesia—kali ini tanpa campur tangan partai politik!
Organisasi ini akan berfungsi sebagai wadah untuk kita membudayakan swakelola—berlatih membuat keputusan secara setara, membangun kapasitas perempuan dan minoritas gender, membangun karakter sosial-budaya baru yang lebih merdeka, aktif, dan berdaya, serta menciptakan jaringan koordinasi secara lebih meluas dalam merespon berbagai isu yang menyangkut harkat perempuan dan minoritas gender dari kelas pekerja di Indonesia.
Serikat ini mesti punya kemampuan untuk menjaga jarak dari godaan politik parlementer. Kita harus menghindari skenario partai politik yang hanya mengubah massa menjadi sekadar konstituen pasif dan penyumbang kotak suara; yang menghabiskan perhatian, tenaga, dan sumber daya kita untuk kampanye elektoral dan aksi-aksi simbolis yang tidak memberikan manfaat apa pun pada perempuan dan minoritas gender di tataran akar rumput.
Kita tidak butuh lebih banyak politisi perempuan. Yang kita butuhkan adalah lebih banyak jiwa-jiwa yang berkomitmen merawat dan meregenerasi semangat perjuangan dari hari ke hari, solidaritas pekerja dari segala sektor—guru dan tenaga pendidikan, dokter dan tenaga kesehatan, pekerja serabutan, pekerja pedesaan, dst—, mahasiswa dan pelajar, pengangguran, dan kaum terpinggirkan yang bersedia merebut kembali hidupnya dan membangun gerakan pembebasan dari bawah.
Gerakan pembebasan perempuan sejati hanya dapat dimulai dari akar rumput.
Ia dimulai dari hati kita yang berdetak, saat ini, detik ini, bukan dari konferensi dan meja pertemuan para dewan, omong besar senior gerakan, atau perjamuan makan dan panggung narsis elit perempuan.
Panjang umur anarki!
Panjang umur kesetaraan dan kebebasan!
—Anti Feminist Feminist Club
08 Maret 2023
Hari Perempuan Nasional
From year to year, from one action to another, and on the paved roads, we encounter the same solid walls that we want to destroy: authoritarianism, capitalism, and patriarchy. How much strength do we have left amid low wages, hunger, environmental degradation, and an increasingly militarized regime? Where is our struggle going? Are we willing to leave our fate in the hands of the representatives—political parties—or are we willing to start building power with our own hands?
On International Women’s Day 2023, we, the AFFC collective, tirelessly call for more direct and tangible forms of action. What we propose is a program that we can run together in the principles of autonomy and solidarity: creating and expanding safe spaces for women, children, persons with disabilities and gender minorities; development of non-commercial counseling support network; a network of reproductive health workers who are non-judgmental and respect everyone’s choices; access to safe abortion; sexual and gender diversity education for youth; support groups for survivors of violence; strengthening cross-sectoral trade unions and building student unions.
To run this program more effectively and widely, we call for the formation of grassroots women’s and minority gender organization, union, or association.
We must revive the organizational culture from below, one that is democratic, autonomous, vibrant, and combative.
This organization might be similar to the women’s organizations or women’s unions formed in Indonesia after independence—this time without the interference of political parties!
This organization would serve as a forum for us to cultivate self-management—to practice making decisions equally, to build the capacities of women and gender minorities, to build new socio-cultural characters that are more independent, active and empowered, and to create a wider coordination network in responding to various issues concerning the dignity of women and gender minorities from the working class in Indonesia.
This union must have the ability to keep its distance from the temptations of parliamentary politics. We must avoid scenarios of political parties that only turn the masses into passive constituents and ballot box contributors; who spend our attention, energy and resources on electoral campaigns and symbolic actions that do nothing to benefit women and minority genders at the grassroots level.
We don’t need more women politicians. What we need are more souls who are committed to caring for and regenerating the fighting spirit from day-to-day; we need solidarity of workers from all sectors—teachers and education personnel, doctors and health workers, casual workers, rural workers, etc.—we need students, the unemployed, and the marginalized who are willing to reclaim their lives and build a movement for liberation from below.
A true women’s liberation movement can only start from the grassroots.
It starts from our beating hearts, right now, this second, not from conferences and board meeting tables, movement senior big talk, or banquets and women’s elite narcissistic stages.
Long live anarchy!
Long live equality and freedom!
—Anti Feminist Feminist Club
08 March, 2023
International Women’s day







[…] Original Bahasa Indonesia statement here. […]
SukaSuka